Senin, 17 Februari 2014 0 komentar

Petemuan dengan Kupu-kupu biru dan Guguran daun kering yang Jatuh di antara Sepatu #1

Kunamai ia kupu-kupu biru, sebab memang dirinya suka dan mencintai makhluk ringan bersayap indah itu. Aku mengenal kupu-kupu itu belum lama. Belum sampai sebulan sejak pertemuan kami 28 Januari lalu di kotaku ini. Sejatinya, 19 Januari lalu, aku berada dalam satu ruangan dan acara yang sama dengan si kupu-kupu biru itu. Hanya memang kami belum mengenal satu sama lain kala itu. Sejak penampilanku baca puisi di acara itu, sejak itulah interaksi itu terjadi. Sebenarnya telah lama pula kutahu ia lewat dunia maya. Ingin bertegur sapa kala itu, tapi canggung agaknya lebih besar ketimbang penasaran di hati ini.

Beberapa hari sebelum bertemu di kotaku, aku dan kupu-kupu itu saling sijabat kata lewat ruang maya bernama Facebook. Kelebat kata hilir mudik dalam percakapan itu. Kemudian pada sijabat kata di hari ke sekian, si kupu-kupu mengabarkan bahwa ia akan bertandang ke kotaku. Ada bunca bahagia di hati kala itu. Betapa tidak, seorang yang sejak pertemuan kami di kotanya kemarin, walau tak berjabat suara dan bersitatap mata, juga tak pula berjabat tangan, akhirnya akan purna pada sebuah simpang bernama pertemuan, ya... pertemuan di kota sejuta marga ini.

Si Kupu-kupu biru pun akhirnya tiba di kotaku. Kami berjanji untuk bertemu sehari setelah ia sampai. Sejatinya, aku bingung hendak kubawa ke mana ia pergi. Sebelum akhirnya mengabarkan tempat janji betemu, aku berpikir keras hendak kuajak ke mana ia. Dan, akhirnya kuputuskan untuk membawanya ke sana. Ya, ke tempat di mana selama ini aku menimba ilmu. Tempat yang sering di sebut orang yang ada di dalamnya sebagai kampus pembangunan karakter. Dan tempat yang juga populer di kalangan mahasiswa yang menempuh pendidikan di dalamnya sebagai kampus hijau. Ya, kampusku. Kubawa kupu-kupu itu ke sana. Kuajak ia duduk sejenak di tempat favoritku di fakultas, di mana di tempat itu aku selalu dapat melihat berbagai rupa karakter manusia, melihat berbagai masalah, mencari inspirasi, atau sekedar menyeruput segelas cappucinno dingin yang kupesan lewat seorang kakak betubuh subur di sana. Ya, kuajak dia duduk di kantin sambil bertukar kata dan melempar celoteh juga derai tawa riang ke semesta.

Perlahan hari merangkak siang. Selepas menikmati sepiring nasi ayam rendang dan segelas cappucinno sebagai makan siang hari itu, kuajak ia menuju mushollah terdekat, tentunya masih di seputaran kampus. Dia pun menurut saja.

Ketika berjalan menyusuri trotoar di seputaran kampus menuju mushollah, sesekali kami melempar celoteh, sesekalidiam, sesekali tertwa dan... Hei, kami juga bercakap tentang gururan daun kering nan indah dari reranting pohon yang berdiri kokoh di sekitar kampus., serupa guguran daun musim gugur di luar negeri. Ah, indah. Gumam kami. Lantas, kami biarkan daunan kering itu jatuh luruh di antara sepatu kami. Sejurus kemdian, si kupu-kupu memungut selembar daun, kemudian tersenyum sambil menyerahkan daunan kering itu padaku.

"Untuk apa daun itu?" Tanyaku.
Ia kembali tersenyum sambil menjawab, "Aku teringat pada film India, di mana mereka menjadikan selembar daun kering sebagai ganti lembar kertas untuk menyampaikan pesan cinta kepada kekasihnya."

Aku pun tersenyum mendengar tuturannya, sembari mengambil daun kering ditangannya itu.
"Itu namanya daun maple. Daun itu memang indah." Ujarku kemudian. Hening kembali menyergap dan memenjara kata-kata  kami dalam bisu. Daunan kering masih tetap jatuh di antara sepatu, dalam hati celoteh berkelebat, walau bersembunyi.

Selepas tunai sholat dzuhur, kami tak langsung beranjak dari mushollah. Kami memilih duduk sejenak sampai waktu beregerak menuju sore. Kami putuskan untuk tetap duduk di mushollah itu. Diam kembali menyeruak diantara kami. Tapi tak berjalan lama diam dan bisu itu, sebab tak berapa lama kembali celoteh-celoteh kami lempar ke semesta. Sesekali bicara, dan tak ketinggalan saling lempar tawa.

Lalu, dari seberang, seekor kupu-kupu jantan tenyata sedang menuju tempat kami berpijak untuk menjemput si kupu-kupu biru. Dan perjumpaan itu akhirnya terhenti pada pukul 15.00 hari itu. Tapi kami berjanji esok akan bersua kembali

**Bersambung...
0 komentar

Catatan Rindu : #Tentang Hujan






Biar kutulis saja engkau, sebab rindu ini agaknya telah terlalu tanak kerena sekian lama mata tak bersitatap denganmu, hidung tak menghirup syahdu aroma itu, aroma tanah basah khas yang kerap membangunkan sukam rindu di kalbu kala kau jelma menyapa bumi. Rintik yang serupa melodi piano ditelingaku kala berdenting engkau di dahan dan genting, tempiasmu

Ah, semua tentangmu, semua kurindu.

Rindu, ya. Aku rindu tatkala kubiarkan dengan sengaja tubuh ini basah sebasah-basahnya, lantaran ingin kurasakan tiap inchimu menelusup ke pori-pori kulitku. Dan, lantaran ingin kunikmati tempiasmu membelai wajahku, juga membiarkan tanganku, masih tetap dengan sengaja menyentuhmu, memainkanmu di telapak tangan ini.

Ingatkah? Sekali waktu, kita kerap bersua. Kubiarkan saja tubuh ini basah dalam dekapmu, sementara semua orang di samping kiri, kanan, depan dan belakangku menghambur, mempercepat langkah, bahkan berlari mencari tempat berteduh karena takut kalau-kalau mereka basah karenamu. 

Tapi aku tidak.
Sering kubiarkan saja kau membasahi tubuh ini, walau aku tahu, jika ibu atau ayah mengetahui, mereka pasti akan berang padaku. Tapi kalau pun mereka marah, biarlah. Asal aku bisa bersitatap dan merasakan dekap hangatmu, walau mereka bilang kau jahat dan dingin, tapi bagiku tidak. Kau hangat. Hangat sekali.
dan tak jarang kubiarkan semuanya basah,
jaket, 
sepatu,
kaus kaki,
tas...
Semuanya...

Tapi memang,
pernah juga kupacu langkahku bahkan setengah berlari di bawah guyuranmu. Kau mungkin mengira aku sombong atau bahkan tak cinta lagi padamu. Tidak, tidak sama sekali. Kau mungkin mengira aku takut tubuhku basah karenamu. Tidak, itu juga bukan. Bukan lantaran tak cinta dan takut padamu, tapi karena aku harus menemui mereka yang berhubungan dengan keberlangsungan studiku. Padahal, sungguh, waktu itu ingin sekali rasanya menyapamu, membiarkan diri ini basah, sebab kemarin-kemarin kau jarang menyapaku dan menyapa seluruh penduduk di jagad raya ini.

Kau ingat, kapan terakhir kita bertemu?
Ah, jangan. Jangan dulu. Hemmm,
kau tau, aku selalu rindu dan butuh hadirmu. Bahkan setelah jatuh cinta pada senja dan laut, sekarang aku jatuh cinta padamu. Ya, aku jatuh cinta padamu, duhai hujan. Tiap hendak kuramu sajak dari tangan ini, alangkah indah dan syahdu ketika kau ada. Ketika rinduku purna pada kekasihku yang lain yang kunamai ia kopi, hadirmu pun tetap kunanti. Lalu, ketika imaji ini sunyi dari rimbun kata, aku pun butuh kau segera jelma di hadapan, agar mampu otak, hati, dan tanganku ini merangkai mereka dalam bait indah, entah itu puisi, cerpen, atau hanya sekedar cerita biasa.

Sekarang, 
Kuulang lagi tanya. Ingatkan kau kapan terakhir kali kita bertemu?
Hampir dua pekan. Ya, dua pekan sudah kita tak bersua. Dua pekan sudah tak kurasa guyuran dan tempiasmu membasahi tubuh ini, dua pekan sudah aku merindu, 
dua pekan sudah...

Dan kini,
aku hanya mampu menanti dan terus merapal do'a,
agar kau segera jelma, 
agar purna rindu itu.

Kepada engkau, duhai matahari. Maafkan aku. Bukan hendak kuselingkuhi dan kuhianati engkau. Bukan aku tak suka dan membencimu. Tapi saat ini, aku memang sedang sangat merindu,
Ya, merindu hujan itu.
Hujan yang entah pergi ke mana...



..170214..
Masih setia menantimu,
#Hujan
 
;