Senin, 12 Agustus 2013

Menanak Kesabaran Untuk Segores Tanda Tangan #1

Tulisan ini sebenarnya ingin kutuliskan jauh sebelum hari ini. Ini tentang pengalamanku selama tiga bulan lebih menunggu dan menanak sabar demi mendapatkan segores tanda tangan perngesahan proposal skrispi dari dosen penguji. Catat, dosen penguji, bukan dosen PS (Pembimbing Skripsi).

Aku sudah menemuinya sejak bulan April akhir untuk meminta revisian proposal setelah semiar dan mendapatkan tanda tangan di lembar persetujuan. Tapi, dari sejak akhir April itu, tak ada hasil yang kudapatkan. Malah aku harus pulang membawa kecewa dan membungkus air mata, jua menahan gemuruh yang  menggedor sukma, sehingga Ayah dan Ibu pun tak kuasa bertanya bagaimana hasil dan perkembangannya.

Melihat anak sulungnya bersedih, Ibuku yang lembut, cantik, dan baik hati agaknya paham akan gundah sedihku. Ibu kerap mencoba menyabarkanku, agar aku tak sampai frustasi karena hal ini, walaupun terkadang Ibu marah dan kesal juga karena skripsiku tak kunjung selesai, dan aku tak kunjung wisuda.

Kalian tau? Suatu waktu, Aku harus menunggu dosenku itu sampai harus melantai di depan kantor jurusan. Terkadang, beliau tidak ada di tempat. Kalaupun ada, beliau juga terkadang tak ingin ditemui. Ditambah lagi dengan kesibukannya yang harus tugas keluar kota ini, kota itu. Seminar sini, seminar situ. Plesir sini, plesir situ. Lengkaplah sudah penderitaanku menantinya, hanya untuk segores tandatangan.

Akhirnya, proposalku pun direvisi olehnya. Masih revisi. Catat, masih revisi. belum ditandatanganu. Wajar kalau sekali bertemu direvisi. Tapi yang membuatku pusing adalah coeretan revisiannya dengan tulisan yang tak jelas, yang semakin membingungkan dan membuat kepalaku pusing. Oke, baiklah. Akan kuperbaiki sesuai yang kubisa dan kumengerti. Setelah kuperbaiki, kuatarkan lagi perbaikan itu kemudian. Lantas beberapa hari setelahnya aku datang lagi untuk melihat perkembangan hasil revisianku. Apakah akan ditandatangani, atau malah di revisi lagi. Tapi, bukan malah tanda tangan yang kudapat, malah kesedihan yang mampir.

Hari itu, aku mengalami sesuatu yang membuatku tak berhenti menangis. Prosposalku tidak ditandatangani oleh beliau, sementara semua proposal lain yang masuk ditandatangani. Alasannya karena aku tidak membawa lembar revisian dan proposal lama seminar. Padahal yang lain pun ada yang tidak membawa hal yang sama. Aku katakan padanya bahwa, kertas revisianku hilang di kantor jurusan ketika berkasku masuk ke dalam ruangan beliau kemarin. Tapi beliau tidak terima, malah menyuruhku mecari sampai dapat.

Sedih. Sedih sekali rasa kala itu.
Aku sedih karena semua proposal yang masuk ditandatangani, tapi kenapa punyaku tidak? Apa beliau dendam padaku? atau tak suka padaku?
Hari itu, aku menangis sejadi-jadinya. Sampai di kantor tempat kerjakupun aku tidak konsentrasi bekerja, sebab gejolak di dada terus menyesak. Kuputuskan untuk menenangkan diri di mushollah kantor, dan berdoa agar Allah memberiku petunjuk agar aku bisa kembali mendapatkan kertas revisianku yang hilang dan semoga dosenku itu diluluhkan hatinya.

Esok harinya,
Aku datang lagi ke kampus. Aku bertemu dengan seorang adik stambuk yang mengalami nasib yang sama denganku, tapo proposalnya sudah di ACC oleh dosenku itu.
"Kakak Sudah?"
"Belum, Dek. Entahlah ini kok lama kali."
"Lho, apa masalahnya, Kak?"
"Beliau minta kertas revisian waktu seminar. Yang selembar itu, Dek. Padahal kertas kakak itu hilang kemarin di ruangan beliau."
"Oh, waktu itu adalah, Kak kertas revisian terselip di proposal saya. Ntah punya kakaknya itu. Siapa nama kakak?"

Waktu itu, serasa ada sedikit angin segar dan cercah harap ketika si Adik memberi informasi demikian.

"Oh, iya dek? Lailan Syafira nama kakak. Tolong yah, Dek dicari. Kalau bisa cepat diinfokan lagi ke kakak yah. Soalnya kakak harus menjumpai beliau lagi segera."
"Iya, Kak. Nanti saya cari dulu dan lihat ya, Kak."
"Oke. Makasih ya, Dek."

Setelah perjumpaan dengan adik stambukku yang setelah kukenal bernama Isna, tak henti kurapal do'a agar bernarlah kiranya kertas revisian yang terselip di proposalnya itu adalah milikku.
Esok paginya, kukirimkan sms kepada Dik Isna itu.

Aslm. Gmn, dk? Ketemu? Punya kakak atau nggak?

Wslm. Iya, Kak. Ini punya kakak sama Isna.  Rumah Isna di Tembung. Kalau mau, ambil ke rumah yah, Kak. Tapi kalau kejauhan, besok aja kita jumpa di kampus.

Alhamdulillah.
Makasih yah, Dk. Tolong smskan alamat lengkap adk. Biar kk kesana hrni.

Hari itu juga, Aku langsung menuju daerah Tembung untuk mengambil kertas revisianku itu. Jarak dari rumah ke Tembung terbilang jauh. Dan sejujurnya, Aku tidak hapal betul daerah Tembung itu. Tapi Aku berdoa kepada Allah agar jangan sampai kesasar, dan alhamdulillah, tidak kesasar.

Usai menunaikan sholat dzuhur, saya pamit unduk kepada Isna dan kedua orang tuanya, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke kampus, dengan tujuan kembali menyerahkan proposal skripsi kepda dosen penguji saya itu. Sampai di kampus, ternyata berliau sedang membimbing mahasiswa bimbingan skripsinya. Lebih kurang satu jam saya menunggu. Waktu itu juga ada abang stambuk saya yang menunggu beliau di luar ruangan kelas.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;