Sabtu, 04 Mei 2013

Tentang Perempuan Tangguh, Malaikat Hidupku...



Ibu saya bernama Masyitah Pasaribu. Beliau lahir di kota Sibolga pada tanggal 2 November 1969. Tanggal ulang tahun ibu sama seperti salah satu aktor film India idola saya yaitu Shahrukh Khan. Sejatinya, marga pasaribu itu bukanlah marga asli ibu. Kalau saja kakek dari ibu tidak pernah mendapatakan penghargaan karena telah berjasa pada kota Sibolga, mungkin marga pasaribu itu takkan pernah melekat di belakang nama ibu. Sejatinya, marga ibu adalah Khan, sebab kakek dari ibu  adalah orang Pakistan asli. Makanya, kalau saya katakan pada teman-teman bahwa saya orang batak, tidak akan ada yang percaya. Sebab yang mereka percayai bahwa saya ini berdarah India, timur tengah, bahkan sempat ada yang mengatakan kalau saya ini orang Aceh. Saya tidak menyalahkan kalau mereka mengatakan saya demikian, sebab saya memang ada darah India dan Pakistan yang saya bawa dari ibu. Bagi saya, Ibu adalah segalanya. Kalau ada orang yang menanyakan pada saya ‘Siapa perempuan yang paling cantik di dunia ini?’ maka saya akan menjawab ‘Ibu saya!’.
            Tidak salah kalau saya mengatakan ibu saya adalah perempuan paling cantik sejagad. Saya akui, ibu memang cantik. Secantik aktris India legendaris Hema Malini, secantik wajah ratu Mumtaz Begum Delhavi, istri dari raja Syah Jehan yang karena cintanya pada ratu Mumtaz sampai mendirikan bangunan megah yang sampai saat ini kita kenal bernama Taj Mahal, dan kalau di bandingkan dengan aktris India favorit saya, Aishwarya Rai, ibu saya jauh lebih cantik. Jika Aishwaya adalah mantan Miss World 1994, maka ibu saya adalah ratu sejagad selamanya. Sejak beberapa tahun yang lalu, ibu berjualan di warung untuk membantu perekonomian keluarga kami. Usia saya saat itu masih lebih kurang delapan tahun. Ibu berjualan dari pagi hingga malam. Kalau pagi, biasanya ibu berjualan dari pukul 06.00 sampai pukul 11.00, setelah itu ibu istirahat dan kemudian buka lagi setelah ashar sampai menjelang maghrib, setelah maghrib buka lagi sampai pukul 21.30. Setelah berjualan di pagi hari, ibu pulang ke rumah, mencuci, dan memasak. Saya sebenarnya kasihan melihat ibu yang bekerja siang malam. Apalagi kalau ibu sering mengeluh badannya sakit-sakitan, dan tangannya pegal-pegal karena kebanyakan memarut kelapa setiap hari. Belum lagi mengurusi pembeli dengan beraneka ragam karakternya, mengurusi pembeli yang banyak hutangnya, dan memikirkan uang untuk belanja warung. Ibu saya adalah orang yang memiliki pribadi yang sangat saya idolakan. Ibu tidak seperti ibu-ibu kebanyakan yang selalu menggosip kesana kemari, seperti ibu-ibu yang sering belanja di warung kami. Kalaupun ada yang menggosip pada ibu, ibu hanya menanggapinya dengan biasa-biasa saja.
            Setelah memasuki usia empatpuluh, saya merasa ibu semakin tua semakin suka marah dan suka merepet. Terkadang saya merasa jengkel mendengar ibu marah-marah dan merepet. Tapi, walaupun begitu saya sangat menyayangi beliau. Ada satu bakat yang di turunkan ibu pada saya, yakni jago baca puisi dan pidato. Waktu masih di bangku sekolah dasar dan SMP dulu, ibu sering menjuarai lomba pidato, baca puisi, dan baca prosa se-Sibolga. Ibu pernah mencoba melamar jadi PNS di kantor DEPNAKER dan juga test kepegawaian di Kodam I/BB, tapi keduanya tidak lulus. Padahal sewaktu ikut test kepegawaian di Kodam itu, ibu tinggal mengikuti satu test lagi yaitu pantohir. Tapi lagi-lagi segalanya butuh uang. Tapi saya bersyukur ibu tidak jadi pegawai dan orang kantoran, sebab saya lebih suka ibu yang sekarang. Kalau ibu bekerja di kantor mana mungkin ada waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Yang paling membuat saya bangga dengan ibu adalah suaranya yang merdu saat membaca al-qur’an dengan menggunakan lagu. Ibu adalah salah satu qori’ah terbaik di kota Sibolga. Ibu sering juga menjuarai lomba MTQ se-Sibolga. Dulu sebelum sibuk berjualan, ibui selalu menyempatkan diri untuk mengaji sehabis shalat maghrib. Tapi sekarang, ibu bahkan sudah tidak pernah lagi mengaji. Pernah suatu hari saya katakana kalau saya rindu dengan alunan suara ibu yang indah saat mengaji, ibu menjawab ‘Sebenarnya ibu ingin sekali mengaji sehabis maghrib, tapi setiap hendak mengaji selalu saja waktunya tidak tepat, karena ibu harus menjaga warung’ kata ibu. Satu kesamaan antara saya dan ibu adalah sama-sama punya banyak piala. Satu hal yang sangat saya takutkan adalah, jika suatu saat Allah mengambil beliau dari saya. Kalau di Tanya ‘Siapa sumber kekuatan saya dalam menghadapi hidup ini?’ maka jawabannya adalah ‘Ibu saya!’.



0 komentar:

Posting Komentar

 
;